Bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan di Widya Chandra pada 25 Juni 2018, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebutkan bahwa utang-utang kita sudah sangat berbahaya. Selain utang, ada utang lembaga keuangan milik pemerintah dan Utang-Utang BUMN yang dijumlahkan mirip Rp 9.000 triliun. Untuk itu perlu beberapa hal sebagai berikut.
Data statistik hutang sektor publik (SUSPI) Desember 2017 terdiri dari tiga kelompok. – Utang pemerintah pusat Rp 4.060 triliun – Utang BUMN non-lembaga keuangan Rp 630 triliun – BUMN lembaga keuangan (termasuk Bank BUMN) Rp 3,850 triliun – Jumlah total utang adalah sebesar Rp 8,540 triliun (sangat jauh dari Rp 9.000 triliun yang disampaikan Prabowo) – Prabowo menggunakan kurs Rp 14.000 per dolar AS, sementara posisi 2017 data BI (SUSPI) menggunakan kurs Rp 13.492 per dolar AS. Untuk utang BUMN keuangan (bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN) sebesar Rp 3.850 triliun itu sebagian besar (80 persen atau hampir Rp 3.000 triliun) adalah dana pihak ketiga.
Cadangan Devisa Mei Tergerus 2 Miliar Dollar AS Dana pihak ketiga yang berasal dari masyarakat dan perusahaan yang menempatkan dana di perbankan dengan tujuan. Utang BUMN non-lembaga keuangan adalah utang BUMN dalam melaksanakan kegiatan usaha BUMN, yaitu untuk membangun infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut dan udara, serta kegiatan pembuatan BUMN lainnya. Utang BUMN merupakan kekayaan dan kewajiban yang sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara dan tidak otomatis menjadi tanggungan pemerintah.
Utang BUMN menjadi kewajiban BUMN untuk melunasinya dan dipercepat oleh aset BUMN yang bersangkutan. Untuk Utang BUMN yang mendapat jaminan, mengelola secara hati-hati dan Membela. Dalam menghitung tingkat uang, maka ukurannya adalah dibandingkan dengan kemampuan uangnya. Untuk utang pemerintah, ukurannya adalah kapasitas ekonomi (produk domestik bruto) dan rasio kewajiban cicilan dan bunga untuk penerimaan negara. ……. Sebagai tokoh politik yang memiliki perusahaan, Prabowo tentu pahampose adalah hal yang biasa bagi sebuah perusahaan untuk berutang.
Untuk melakukan hal-hal dan menghasilkan kembali, maka kewajiban itu akan dapat diakses kembali. Jadi sekali lagi disampaikan bahwa utang bukan tujuan. Bukan pula momok yang biasa digunakan sebagai barang politik untuk menakuti rakyat. Utang negara, termasuk yang membentuk syariah, adalah instrumen yang dapat digunakan oleh orang-orang, akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebijakan dan tanggung jawab keuangan yang diawasi oleh berbagai lembaga mulai dari DPR, Badan Pemeriksa Keuangan, kreditur, hingga lembaga pemeringkat di seluruh dunia, seperti Moodys, Fitch S & P, JCRA (Badan Pemeringkat Kredit Jepang) dan juga R & I (Peringkat & Investasi).
Utang negara juga perlu dilakukan melalui pembahasan dan penguatan DPR melalui pengesahan UU APBN setiap tahun. Pengelolaannya selalu diawasi oleh DPR dan tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan dalam UU Keuangan Negara. Terkait dengan pernyataan Prabowo, yang mengutip lembaga pemeringkat Moodys di mana saja bahwa Indonesia dalam “bahaya”, lembaga pemeringkatan Moodys sebaliknya telah menaikkan peringkat utang Indonesia dari Baa3 / outlook positif menjadi Baa2 / outlook stabil pada April 2018. Peringkat tersebut adalah peringkat tertinggi yang pernah diberikan Moodys kepada Indonesia selama ini.
Demikian penjelasan atas pernyataan Prabowo untuk memberikan informasi yang akurat, tepercaya, dan tanggung jawab kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia senantiasa mengelola APBN dengan transparan, profesional, hati-hati dan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai pertanggungjawaban publik yang telah ditetapkan oleh UU, dan untuk menjaga ekonomi Indonesia tumbuh dan berkembang secara sehat, adil, merata dan berkelanjutan.